KATA PENGANTAR
Puji syukur
saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmatnya saya dapat
menyelesaiakan makalah yang berjudul ‘G 30 S PKI 1965. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang saya alami dalam proses
pengerjaannya, tapi saya berhasil menyelesaikannya dengan baik.
Tak lupa
saya juga mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua saya yang telah
membantu saya dalam mengerjakan makalah ini. Tentunya ada hal-hal yang ingin
saya berikan kepada masyarakat dari hasil karya ilmiah ini. Karena itu saya
berharap semoga karya ilmiah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita
bersama. Semoga karya ilmiah yang saya buat ini dapat membuat kita mencapai
kehidupan yang lebih baik lagi.
Losari, 1 Maret 2020
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kemerdekaan Indonesia bukan berarti Negara Indonesia
terbebas dari segala masalah yang ada.Terdapat beberapa oknum ataupun
organisasi masyarakat yang menginginkan ideologi mereka yang menjadi landasan
negara yang telah disepakati sebelumnya, salah satunya adalah organisasi dari
partai politik Partai Komunis Indonesia (PKI). Hingga saat ini masih banyak
organisasi masyarakat yang menginginkan separatis dengan kedaulatan NKRI.
Pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965 bukanlah kali pertama bagi PKI.
Sebelumnya,pada tahun 1948 PKI sudah pernah mengadakan pemberontakan di Madiun.
Pemberontakan tersebut dipelopori oleh Amir Syarifuddin dan Muso. Tujuan dari
pemberontakan itu adalah untuk menghancurkan Negara RI dan menggantinya menjadi
negara komunis.Beruntunglah pada saat itu Muso dan Amir Syarifuddin berhasil
ditangkap dan kemudian ditembak mati sehingga pergerakan PKI dapat
dikendalikan.
Namun, melalui demokrasi terpimpin kiprah PKI kembali bersinar. Terlebih
lagi dengan adanya ajaran dari presiden Soekarno tentang Nasakom (Nasional,
Agama, Komunis) yang sangat menguntungkan PKI karena menempatkannya sebagai
bagian yang sah dalam konstelasi politik Indonesia. Bahkan, Presiden Soekarno
mengangap aliansinya dengan PKI menguntungkan sehingga PKI ditempatkan pada
barisan terdepan dalamdemokrasi terpimpin.
B. Rumusan masalah
Dari uraian latar belakang tersebut, maka penulis
merumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
- Pengertian PKI
- Sejarah Singkat G 30 S PKI
- Apa tujuan dari G30SPKI?
- Apa latar belakang dari G30SPKI?
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuannya ialah penulis ingin mencari tahu
tujuan, latar belakang dari G30S PKI, siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat dan
korban-korban, serta alasan pemerintah hingga akhirnya memutuskan untuk
membubarkan gerakan ini.
D. Metode penelitian
Adapun metode penelitian yang dipakai penulis yaitu
dengan mengadakan studi pustaka dengan cara membaca dan mengumpulkan
sumber-sumber lain dari internet. Dan metode observasi, Cara ini dilakukan
dengan mengadakan pengamatan dengan terjun langsung ke lokasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat G30-S/PKI
Peristiwa Madiun (Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan atau
situasi chaos yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948. Peristiwa
ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada
tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis
Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir
Sjarifuddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun
(Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis
Indonesia (PKI).Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan
pemberontakan PKI. Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh
masyarakat yang ada di Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer di
pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama. Masih ada kontroversi
mengenai peristiwa ini.Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang mendalangi peristiwa
ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde
Lama).
B. Tawaran
bantuan dari Belanda
Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan
bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak
oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan
memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk
melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia.
Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun
kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak
kepada AS.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul
berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan
golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia),
Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain,
antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal
di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari
kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll., melainkan kemudian
juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain
Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol
Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan
Wehrkreis III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten
Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.
Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso,
kembali dari Moskow, Rusia.Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan
segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak
politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Musso, antara lain Mr.
Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll.
Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak
menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai.Banyak perwira TNI, perwira
polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik
dan dibunuh.
Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM
Suryo) dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga
orang tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr.
Muwardi dari golongan kiri, diculik dan dibunuh.Tuduhan langsung dilontarkan,
bahwa pihak lainlah yang melakukannya.Di antara yang menjadi korban juga adalah
Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di
tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI saat itu, termasuk
Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika
Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin
Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Domino Theory. Truman
menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka
negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti
layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam
memerangi komunis di seluruh dunia.
Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel
“Huisje Hansje” Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta,
Sukiman, Menteri Dalam negeri, Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi
Sukanto, sedangkan di pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik
Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam
Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai
“Perundingan Sarangan”, diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia
menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah).Dengan
bantuan Arturo Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan
untuk kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada
Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central
Intelligence Agency – CIA
Diisukan, bahwa Sumarsoso tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui
radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi
Karesidenan Madiun. Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang mengatakan
bahwa pada dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND) dan telah
terjadi pemberontakan PKI. Dia bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap
ancaman dari Pemerintah Pusat
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan
melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih:
Musso-Amir Syarifuddin atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata,
yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di
zaman Orde Baru terutama di buku-buku pelajaran sejarah kemudian dinyatakan
sebagai pemberontakan PKI Madiun.
C. Peristiwa
1. Isu Dewan
Jenderal
Pada
saat-saat genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal, yang mengungkapkan bahwa para petinggi Angkatan Darat tidak puas
terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini,
Soekarno memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka
untuk diadili.Namun secara tak terduga, dalam operasi penangkapan tersebut para
jenderal tersebut terbunuh.
2. Isu Dokumen
Gilchrist
Dokumen
Gilchrist diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia, Andrew
Gilchrist. Beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal.Dokumen
ini oleh beberapa pihak dianggap pemalsuan. Di bawah pengawasan Jenderal
Agayant dari KGB Rusia, dokumen ini menyebutkan adanya “Teman Tentara Lokal
Kita” yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh
pihak Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberi daftar nama anggota
PKI kepada tentara untuk “ditindaklanjuti”.
3. Isu
Keterlibatan Soeharto
Menurut isu
yang beredar, Soeharto saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (Panglima Komando
Strategis Cadangan Angkatan Darat) tidak membawahi pasukan.
Korban
Keenam
pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
·
Letjen TNI Ahmad Yani
(Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
·
Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II
Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
·
Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III
Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
·
Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I
Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
·
Brigjen TNI Donald Issac Panjaitan (Asisten IV
Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
·
Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur
Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
·
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang
menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya,
putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas
Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu
beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
·
Bripka Karel Satsuin Tubun (Pengawal
kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J.Leimena)
·
Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan
Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
·
Letkol Sugiyanto Mangunwiyoto (Kepala
Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban
tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal
sebagai Lubang Buaya.Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
4. Pasca
Kejadian
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI Angkatan Darat, PKI mampu menguasai
dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor
Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI
menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para
perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap
pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh
Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI.Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel
Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala
Staf Korem 072/Yogyakarta).Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober
1965.Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan
Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI
Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para “pemberontak” dengan
berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari
perlindungan. Pada tanggal 6 Oktober, Sukarno mengimbau rakyat untuk
menciptakan “persatuan nasional”, yaitu persatuan antara angkatan bersenjata
dan para korbannya untuk penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite
Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa
untuk mendukung “pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak melawan angkatan
bersenjata.
5. Penangkapan
dan Pembantaian
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua partai kelas buruh yang
diketahui, ratusan ribu pekerja, dan petani Indonesia dibunuh atau dimasukkan
ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi.Pembunuhan-pembunuhan ini
terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali
(bulan Desember).Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan
persis (perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara
perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang).Namun diduga setidaknya
satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta
itu. Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari
organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng
Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh
mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu “terbendung mayat”.
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan
pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu
lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali.
6. Supersemar
(Surat Perintah Sebelas Maret)
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto
kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret.Ia memerintah
Suharto untuk mengambil “langkah-langkah yang sesuai” untuk mengembalikan
ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya.Kekuatan tak
terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim
Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh
TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris
Kedua PKI, Nyoto.
7. Pertemuan
Jenewa, Swiss
Menyusul peralihan kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakanlah
pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional
di Swiss. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan
minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland,
British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The
International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian
Development Bank, dan Chase Manhattan. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat
itu diterapkan.
8. Peringatan
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan
Gerakan 30 September.Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari
Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film
mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di
Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto
biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya
dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata.Namun
sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya
tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk
mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di
berbagai pelosok Indonesia.Acara yang bertajuk “Pekan Seni Budaya dalam rangka
memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965″ ini berlangsung di Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica, Universitas
Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara
lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.
9. Akhir
konflik
Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh
pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat
menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September
1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh
pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat
menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan
Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat
menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu.Memang benar,
kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu
singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik
yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di
Hotel Merdeka di Madiun.Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan
pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak
dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung
Musso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr.
Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20
Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot Subroto.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peristiwa G 30 S PKI adalah peristiwa berdarah bunuh membunuh yang tidak
jelas kepastiannya, dalam peristiwa ini 6 jendral tewas dan PKI dituduh sebagai
pembunuhnya. Kronologinya akan dibahas pada poin-poin di bawah.
Menurut isu beredar, ada kabar bahwa para jenderal tidak puas dengan
pemerintahan Soekarno, kabar ini disebut Isu Dewan Jenderal, menurut isu
beredar, kemudian digerakan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan mengadili
mereka, namun dalam proses penangkapan, secara tak terduga mereka terbunuh pada
tanggal 30 September 1965.
Masih berdasarkan isu, setelah ke enam jenderal terbunuh, tersebarlah
tuduhan bahwa PKI yang membunuh para jenderal tersebut.Menurut isu, untuk
menyikapi tuduhan atas PKI tersebut, diberantaslah PKI yang dianggap ingin
mengudeta pemerintahan.Banyak anggota-anggota PKI yang terbunuh, juga banyak
orang-orang kita yang terbunuh oleh PKI, semua itu terjadi pasca terbunuhnya
jenderal pada 30 September 1965.
Sampai akhirnya, lima bulan setelah itu, keluarlah Supersemar (Surat
Perintah Sebelas Maret). Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui
Surat Perintah sebelas Maret.Semua pihak, terutama Soekarno berharap semoga
aksi bunuh membunuh pasca kejadian 30 September 1965, itu segera selesai.
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan
Gerakan 30 September.Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari
Kesaktian Pancasila.Isu mengenai peristiwa G 30 S PKI, dari mulai
tuduhan-tuduhan kudeta sampai kematian para jenderal tidak begitu jelas.
B. Saran
Saran saya tetap lestarikan budaya dan sejarah bangsa indonesia, sebab itu
akan bermanfaat bagi kita dan orang-orang atau generasi berikutnya untuk
mengetahui sejarah bangsanya.
Penulis juga mengharapkan agar pembaca bisa memberikan saran apapun untuk
karya tulis ini, sebab karya tulis ini tak luput dari kesalahan dan kehilafan,
saran dan kritik pembaca pasti dapat membantu sedikit banyaknya. Terimakasih.